Kamis, 14 Juli 2011

Draft Film Pendek IMM HAMKA

BERJALAN SAMPAI BATASMU
Oleh: Dyah Prabaningrum
(Mahasiswa Sastra Indonesia 2008/ Kabid Keilmuan IMM HAmka)  

Ketika aku mulai membuka mata dan menelaah tentang diri ini untuk menentukan langkahku, ada perih yang mendera. Siapakah aku selama ini yang berani bermimpi tinggi? Apakah yang ku punya untuk meraih yang sulit tergapai berupa cita? Aku dan segala yang ada dalam diriku ku rasai lebih berada pada titik kekurangan, seolah tak utuh dalam kelayakan menggapai barisan target yang ku tuliskan dalam binder yang berisi peta hidupku, bahkan saat itu ku rasakan tak utuh pula dalam bertekat. Ah…ku pandangi sekitarku, derai tawa memang ada di mana-mana, bahkan tawa itu juga ada dalam diriku. Tapi aku berbeda dengan mereka, “seolah kepastian” yang mereka punya tak ku punyai dalam keformalan yang akan disematkan nantinya olehku. Berada di bidang dan program studi murni akan terlihat berbeda di bidang dan program studi kependidikan pada lingkungan yang sebagaian besar adalah calon pendidik, itulah awal mula yang ku sadari saat berada di universitasku.
Hmm..bila mengingat masa kecilku, aku selalu ingin menjadi penulis. Entah kenapa aku jatuh cinta pada kata-kata yang terangkai indah, pada imajinasi yang mampu terbang tinggi, aku jatuh hati. Semangat menggebu berada dalam diriku saat mata pelajaran bahasa Indonesia mulai memamerkan silabus pembelajaran dalam halaman cukup depan di buku paket yang ku miliki. Ku tilik, ku teliti bahkan kala itu ku eja, ada di dalamnya ada praktek bercerita dan menulis. Bagiku itu adalah sebuah keberuntungan yang bertemu. Aku akan sangat semangat! Mungkin melebihi yang lain, atau bahkan semangatku ku rasakan melebihi guruku sendiri saat mengajar materi tersebut.
Aku tahu ibuku, nenekku, dan ayahku tak begitu suka dengan buku cerita. Tapi apakah salah bila aku berbeda dari mereka dan menyukai apa yang tak mereka sukai? Meskipun begitu ibuku cukup adil, dia membiarkan aku membaca majalah anak-anak walaupun jarang sekali membelikannya. Masih teringat jelas, ketika aku beranjak  dari kelas 2 naik ke kelas 3, setiap minggunya aku telah boleh pergi naik angkutan umum sendiri, diam-diam aku pergi ke pasar, yang konon katanya menjual majalah anak-anak bekas. Aku tahu, aku tak cukup punya uang untuk membeli majalah anak-anak yang baru, sebab waktu itu uang sakuku hanya Rp 150,00 sementara majalah anak yang aku inginkan harganya berkisar Rp 2.500,00 itu untuk yang baru. Semula aku bermaksud membeli majalah baru, sedikit demi sedikit ku kumpulkan uang sakuku. Kadang sengaja aku tak jajan untuk menabung, demi membaca kisah-kisah yang aku nanti, Bona dan Rong-rong, Nirmala dan Okky, juga cerita-cerita pendek yang aku kagumi.
Memang! Semula ku belikan tabunganku itu untuk majalah baru, tapi majalah itu ku lahap habis hanya dalam waktu satu minggu padahal ku kumpulkan uang itu dalam 17 hari, itupun bila aku tak pernah jajan sama sekali, dan untuk naik angkutan umum ku harus mengumpulkan uang sekitar 7 hari. Maka saat aku mengetahui bahwa ada majalah anak-anak dengan harga Rp 500,00 ku cari tempat penjualannya, ternyata di sana tak hanya menjual majalah anak-anak, tapi juga berbagai buku cerita. Girang sekali saat ku tahu ada tempat yang menjual apa yang kuinginkan dengan harga yang cukup murah.    Bulan berikutnya akupun selalu membeli beberapa majalah sekaligus di tempat itu.
Setiap aku membaca, setiap itu pula aku imajinasiku terbang tinggi,  membayangkan menjadi gadis berselendang merah, atau menjadi putrid tidur yang berteman dengan kurcaci di hutan. Setiap itu pula ku ingini buku yang baru untuk memperbanyak khayalanku. Ku terus membeli majalah itu tiap bulannya setelah mengumpulkan uang sakuku, ku kumpulkan semua buku itu dalam kardus bekas, tak terasa entah berapa bulan bahkan dalam hitungan tahun. Aku tumbuh dan naik kelas, dan kelas tigapun  menjadi masa lalu, waktu itu aku kelas enam SD. Tak tahu mengapa aku tergoda untuk membeli jajanan dibanding buku, untunglah, aku sering bercerita tentang dongeng dan bacaan yang pernah ku baca, temanku menjadi tertarik untuk membacanya hingga setiap belajar kelompok aku membawa kardusku yang berisi majalah itu untuk aku pinjamkan dan setiap peminjam ku pungut biaya Rp 150,00 per tiga hari.
Tak ada temanku yang berkeberatan untuk itu, tapi lama kelamaan ibuku tahu kalau aku sering memungut biaya pinjaman atas buku-bukuku itu, ibukupun memarahiku. Aku diam dan merunduk, aku tahu ibuku sedang mengajarkan ketulusan padaku, tapi apa aku salah? aku kerap hanya melihat mereka jajan tanpa aku mampu membeli untuk menggantikannya dengan majalah yang aku ingini, bekas lagi? Dimana letak kesalahanku? Bukankah tak ada masalah bila mereka membayar dan mereka juga tidak mengeluhkan jumlah, sementara hasilnya itu untuk menambah koleksi buku yang baru? Aku hanya diam memandam semua itu.
Waktu berlalu beralih dari kebiasaan membaca, ku intensifkan ke kebiasaan menulis. Mungkin bila di arsipkan akan ada ratusan cerita dan puisi yang ku tulis sejak SD. Kini ku harus tersenyum getir atas bukti yang tak kujumpai, tapi hanya mampu ku kenang. Ratusan tulisanku hilang, tersisa beberapa saja. Dulu, aku bingung ke mana ku harus salurkan tulisanku, ku tak mengerti bagaimana caranya agar tulisanku dapat di baca semua orang, yang aku tahu aku hanya ingin menjadi penulis, tidak lebih! Itu saja!
Ku simpan asa itu hingga kini, hingga aku di terima di program studi yang mulanya tak mendapat restu dari orang tuaku. Program studi yang semua orang bertanya akan menjadi apa kelak? Program studi yang pernah pada masaku terdapat wacana akan ditutup. Di setiap sudut  seolah aku mendengar semua orang bertanya what for? Untuk apa kuliah di sastra? Mau jadi apa? Kalau hanya mau jadi penulis, nggak harus di  sastra kali. Terluka, itu pasti, tapi ini adalah pilihanku setelah mengiba kerelaan ibu untukku.
Dari pihak keluarga, tak ada yang menemaniku dalam pendaftaran ulang. Ku tahu kesibukan ibuku, ayahku, dan nenekku. Tapi aku tak menyerah, kakakku cukup baik hati untuk menitipkanku pada temannya. Ku susuri jalan menuju Universitas yang sekarang telah resmi secara 3 tahun ku bersekolah di sana. Semuanya ku lakukan sendiri dan bilapun ada bantuan, teman kakakkulah yang membantu. Pada hari pertama aku masuk untuk upacara agustusan aku tak punya teman, dengan mengandalkan ingatanku seadanya ku cari lapangan Fakultas Ilmu Keolahragaan. Ku cari plang yang bertuliskan Fakultas Bahasa dan Seni, bakal calon Fakultasku kala itu. Ku berdiri di kerumunan orang yang saling sapa tanpa ku tahui mereka siapa. Dari hari pertama hingga hari dimana ku menginjakkan kaki untuk mengikuti Pengenalan Proses Akademik yang sebelumnya dinamakan OSPEK, aku mesih merasa menjadi manusia langka dari program studi yang terasing. Kakak pendampingku, teman-teman di sekitarku, semuanya dipersiapkan menjadi tenaga pendidik. Itu berarti mereka memilih program studi pendidikan.
Benar-benar ku banyak diam dan yang biasa ku lakukan seperti biasa selain diam adalah mencurahkan segala rasa pada dunia tulis, pada kertas yang ku pegang. Jari ini mulai menggores abjad-abjad pada kertas putih yang ku pegang di waktu istirahat. Di sepanjang jalan pulang ke kos, air mata ini rasanya tertahan di pelupuk mata, membayangkan tak ada teman dalam satu program studiku, membayangkan  dengan masa depan yang tak pasti,dan ucapan banyak orang terhadapku.
Benarlah banyak orang mampu menulis, bahkan itu syarat mutlak untuk dapat bersekolah. Untuk menulis abjad a-z hal tersebut pernah di ajarkan pada sekolah-sekolah, di tingkat pra-dasar sekalipun, atau malah jangan-jangan telah didikkan saat anak berusia dini. Oh Tuhan… kenapa ku harus terlempar di dunia yang ku ingini dengan perasaan yang galau? Apa yang harus ku lakukan kali ini. Aku tak memiliki teman bahkan sekedar untuk berbagi. Aku juga tak memiliki sesuatu, bahkan tak memiliki lagi keberanian untuk menjawab tanya yang selalu terlontar dalam setiap perkenalan,”Dari jurusan apa, milih prodi apa?” Aku selalu berharap air mata itu tak pernah jatuh saat di depan umum, mungkin itu saja harapanku satu-satunya.
                                                                                        
Beberapa minggu ku lalui dengan perasaan menyesal, hingga ku dapatkan teman baru yang berasal dari prodi yang sama. Beruntung menemukan dia dalam keterpurukan rasa, membuatku bangkit dan menyusun rencana karena kini ku tahu aku bukanlah satu-satunya orang yang akan berjuang dalam program studi sastra. Aku mulai berkenalan dengan yang lain tanpa malu dari program studiku, ku berharap lebih banyak teman yang ku temukan dari program studi yang sama denganku. Keinginan yang terpaut jarak dengan kenyataan yang ku temukan, membuatku kecewa untuk ke dua kalinya, tapi tak apa, aku telah menemukan beberapa, setidaknya lebih dari satu, yaitu empat orang.
Kali ini diamku berbeda, diamku lebih ke arah berfikir bagaimana aku dan teman-temanku yang baru ku temui mampu menjadi “yang terlihat” diantar sekian banyak teman di jurusan ini, bukan hanya di program studi kami kelak. Kebetulan sekali aku menemukan teman-teman yang aktif dalam berbagai hal, akhirnya kita bersama-sama menjadi panitia lepas di berbagai event jurusan bahasa dan sastra Indonesia. Ternyata ini langkah awal aku di kenal oleh dosen maupun kakak kelas, dari langkah kecil itupun aku mencoba aktif dan mencoba tamemupus rasa rendah diri sebagai anak sastra.
 Bulan pertama ku di kelas sastra, ku jalani bersama sekitar 26 anak yang menjadi teman sekelasku. Sedikit ya? Tapi tak apalah, ternyata hampir rata-rata dulu waktu SMA dari jurusan bahasa. Aku menyadari aku akan belajar dengan terbata, sementara mereka cukup dengan mengandalkan memori lama. Hampir seluruh buku mata kuliah yang dibutuhkan ku beli dan ku punyai, ku baca karna ku tak mau ketinggalan dengan yang lain, yang telah mempunyai stock of knowledge yang diperoleh saat SMA. Kini tak ada lagi kesedihanku, yang ada adalah kesibukanku bergelut dengan buku yang begitu asing, fonologi yang membahas bagaimana jalan keluar huruf dan yang mempelajari fonem, morfologi yang mempelajari morfem tataran yang kadang sulit ku bedakan dengan kata, sintaksis yang mempelajari kalimat, dan semantik yang mempelajari makna. Semua itu membuatku pusing karena tidak memahaminya. Untunglah ada pelajaran yang menyeimbangkan otakku yang sempat ku rasakan agak goncang dan tergeser sedikit karena pusingku, pelajaran itu berupa pengantar ilmu sastra, apresiasi sastra,dan hal-hal yang berbau sastra, tapi tambah berputar lagi bak baling-baling bambu milik doraemon ketika ku temui ada mata kuliah basa jawa kuno, sansekerta, dan filologi.
Sempat aku dibuat menangis karena daya hafal dan ingatku yang lemah terhadap pelajaran tadi. Kepeningan terhadap berbagai hal yang baru dalam prodiku ini membuatku belajar pelan-pelan. Setiap hari ku sempatkan waktu untuk membaca, untuk memahami setiap huruf yang tercetak dalam buku-buku pengantar di tiap mata kuliah. Kadang di sela membaca, pikiranku melayang, masih terbayang jelas, pertanyaan itu muncul dalam benakku,”Mau jadi apa nanti?” ku pejamkan mataku, mencoba menenangkan batinku. Ku sadari apa yang harus ku lakukan, aku harus membangun jejaring untuk bekalku kelak. Di hari-hari berikutnya, ku amati papan pengumuman, ku cari info tentang UKM maupun Lembaga Kemahasiswaan kapan membuka open recruitment untuk mahasiswa baru. Aku menemukan famlet open recruitment salah satu Lembaga Kemahasiswaan dalam fakultasku, ku lihat jadwalnya, tapi sayang tanggal litsus yang ditentukan bertepatan pada hari dimana aku harus mengikuti acara yang telah ku janjikan pada temanku, akhirnya dengan berat hati ku gagalkan mengirim SMS sebagai salah satu syarat pendaftaran. Aku terus mencari info tentang penerimaan anggota baru Unit Kegiatan Mahasiswa ataupun Lembaga Kemahasiswaan, kali ini ku harus kecewa, karena ternyata rata-rata telah membuka open recruitment sewaktu PPA, sewaktu aku buta informasi dan tak memiliki teman. “Oh Tuhan, aku yakin Kau pembuat rencana terbaik untuk hidupku,”batinku dalam hati.
Ku coba mencari informasi lain selain di kampus, tempat formalku belajar. Ku cari pula di luar kampus. Di mulai dari bertanya pada mbak Zaroh, teman kakak yang selalu membantuku di awal kuliah. ADA! Ternyata ada! ku diajak mengikuti kegiatannya. Kegiatan pertama yang dikenalkan padaku adalah sebuah diskusi di rumah suciNya. Seorang udztat waktu itu mengawali diskusinya dengan kata-kata yang ku ingat hingga kini, kata-kata yang membuatku terpukau dan langsung ingin mendaftarkan diri sebagai anggota organisasi itu. Kata-katanya sederhana, dulu K.H. Ahmad Dahlan pernah berkata,”Bila kau sumbangkan untuk  islam jiwamu, jiwa itu sebenarnya akan di cabut sendiri oleh Tuhan. Tapi bila kau sumbangkan hartamu, pikiranmu, waktumu, maka itu akan menjadi amalanmu.” Mungkin agak berbeda tapi intinya sama. Setelah itu beliau bercerita tentang perjuangan K.H. Ahmad Dahlan yang banyak ditentang, tapi apa yang terjadi? Sekarang organisasi yang didirikannya banyak yang mengikuti dan mempunyai berbagai Badan Amal Usaha yang begitu membantu masyarakat. Subhanallah. Aku menjadi ingin sepertinya.
Aku bandingkan dengan diriku bila K.H. Ahmad Dahlan terus berusaha memperjuangkan ideologinya, kenapa aku tidak? Aku berharap sepertinya, aku juga berharap ingin memperjuangkan Islam agar benar-benar menjadi rahmatan lil’alamin. Aku memang hanya mempunyai kemampuan merangkai kata, tapi itu harta satu-satunya yang ku miliki, dan aku mempunyai waktu dan pikiran untuk itu. Aku tahu kata memang tak seberapa menurut sebagian orang. Ku juga tahu banyak orang yang meremehkan imajinasi dan ku juga paham, bahwa imajinasi yang berpadu dengan kata menghasilkan karya sastra. Mungkin akan banyak yang tertawa saat aku berkata bahwa kata adalah harta yang ku miliki, bahwa kata dan imajinasi suatu saat akan menjelma menjadi sesuatu yang berharga bahkan mungkin alat perjuangan dalam Islam. Bila masih tak boleh ku sebut kata suatu saat akan menjadi barang berharga. ku hanya ingin bertanya, siapa yang akan menyangkal bahwa adanya pendidikan di Indonesia akibat dari kritik Dowes Dekker dalam karya sastranya Max Havelar, siapa yang menyangkal pula bahwa kebijaksaan mampu ditemui dalam syair-syair kahlil Gibran?
Ah entahlah, harapanku mulai kembali memenuhi relung jiwa, inginku ciptakan karya melalui kata yang ku punya, inginku mempunyai hati sekokoh K.H. Ahmad Dahlan yang mencoba mempertahankan apa yang ia mantapi. Ku mulai lagi menulis, kali ini ku benar-benar bulatkan tekat tuk jadi penulis.
Tanganku dan imajinasiku yang telah beberapa bulan tidak ku gunakan untuk mencipta cerita mulai kaku dalam menyusun kata. Aku mulai lagi belajar pelan-pelan untuk merangkai tiap kata. Kali ini ku tak ingin diam saja dengan karyaku, ku tak ingin lalai mengaarsipkan, ku juga tak ingin melewatkan kesempatan yang ada untuk menampilkan karya.  Di mulai dari notes fb, blog dan ku coba distribusikan tulisanku ke media kampus. Tak lupa ku cari berbagai info lomba-lomba kepenulisan. Banyak lomba ku ikuti, beberapa kali gagal, tapi aku terus berusaha memperbaiki di tulisan-tulisan sesudahnya. Kadang dalam tulisan itu terselip ideologi yang kuanut, ku tak ingin lagi berkecil hati, hingga seolah tekatku tak bulat. Kini beberapa tulisanku telah dibukukan, aku di kenal oleh beberapa temanku sebagai pengumpul informasi lomba kepenulisan. Sejak ku mulai lagi membangun budaya menulis dan beberapa tulisanku dibukukan, juga meng-upload info-info lomba kepenulisan terbaru, temanku kian hari kian bertambah, ku pun merasa tak pernah sendiri lagi. Ah…semoga keberadaanku benar-benar membawa manfaat untuk sesama, karna ku yakin di situlah makna kehidupan berada. Aku janji, ku akan berjalan sampai batas, sampai batas yang Kau tentukan. Thanks God ^_^



Tidak ada komentar:

Posting Komentar